Kamis, 21 Juli 2011

Dari tata lingkungan ke-warung remang-remang

Assalamualaikum,
Belum puas menulis tentang keremang remangan dunia malam warung kopi, kali ini saya melanjutkan tulisan  dari yang sebelumnya Memandang keremangan warung kopi & Menengok Perempuan Warung Kopi Semoga sobat dan saudara-saudara semua tidak bosan membaca tulisan yang berkelanjutan ini.


Entah setuju atau tidak, keberadaan warung kopi sudah terlanjur terjadi sedemikian rupa. Melanggar norma atau tidak, menyempal dari moralitas masyarakat atau tidak, pada kenyataannya, realitasnya, remangnya, kehidupan warung kopi, sepertinya menjadi terang di tengah - tengah lampu peradaban masyarakat dusun. Komentar - komentar miring atas keberadaannya, seperti harus minggir ketepi. Komunitas warung kopi melenggang meninggalkan seruan-seruan moral masyarakat dusun. Masyarakat hanya bisa sebatas berpendapat "mereka (komunitas warung kopi) merupakan komunitas titik - titik yang harus di titik - titik." 

Mengapa demikian? Dalam hal ini Ustad Abdul Bakir yang sekaligus guru ngaji saya semasa awal kuliah dulu memberikan penilaian tersendiri : " Masyarakat tingkat kepeduliannya rendah.Pemerintah tidak peduli akan hal itu. Apakah beliau - beliau (pemerintah dan masyarakat) itu terlalu sibuk atau memang tidak ada pembagian kerja yang nyata. Sehingga timbul suatu realitas kegiatan sebelumnya yang masyarakat tidak menyetujunya, terutama yang agamis. jadi pokok persoalannya pada kepedulian"

Dimaksud kepedulian, yakni rasa terpanggilnya pihak - pihak terkait untuk memikirkan dan mengubahnya; "sedia payung sebelum semua terjadi."  Kongkritnya, masyarakat dan pemerintah harus mulai memikirkan tata lingkungan desa, yakni keberadaan warung kopi/lesehan harus dilihat dulu cocok enggaknya dengan populasi dan sosio-kultural masyarakat dusun.

Jadi fenomena warung kopi versus pandangan tak sedap masyarakat, merupakan bagian kecil persoalan akut di desa. Yakni tidak jelasnya tata lingkungan. Disini yang di perlukan sence of crisis-nya (pengetahuan akan krisis yang tengah dialami). 

Tata desa, dimanapun faktanya memang nggak ada, kok! Yang lagi trend - kan hanya pembangunan desa. Bapak Bupati Jember pernah punya slogan keramat "Menata kota, membangun desa". Padahal sebelum dia ngomong seperti itu, pembangunan desa sudah berkembang pesat lho! Yang harus dimulai, kan tata desanya! Sehingga tak carut - marut begini. Alhasil survey membuktikan bikin rumah sakit megah di desa, tapi mahal tak terjangkau orang kebanyakan. Tetap saja orang miskin tak bisa menikmatinya. Bikin perumahan, menggusur persawahan. Bikin pabrik peternakan, dekat dengan rumah masyarakat. Sehingga tetangga sekitar merasa bising, bau udara yang dihirupnya tidak sedap, petani jadi resah dan sebagainya. 

Bener-bener gak peka lingkungan, jadinya semrawut. Banyak sampah dan limbah dibuang ke sungai pertanian. Akhirnya kuwalitas air sawah semakin terus menurun. Dan masih banyak lagi contoh pembangunan desa dalam arti fisik telah memudhorotkan lingkungan desa

Itu berakibat ketatanan sosial - kultural masyarakat desa. Karakter masyarakat desa menjadi berwatak; asal bangun, asal usaha, asal ngomong!! Tak peduli dampak lingkungannya. Akibatnya, tingkat kepedulian antar sesama masyarakat menjadi rendah. Elo elo, guwe guwe!! Diperlukan teropong atau peta kecil tata kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat desa. Tata kehidupan ataupun pemikiran desa tidak akan mandiri  jika dilaksanakan secara top - down (kayak jaman orde baru). Tapi baiknya dirancang oleh masyarakat sendiri lewat pintu kepedulian dan toleransi. Dengan dirangsang kebijakan pemerintah, baik daerah maupun desa.

Kalau sudah ngomongin keeremangan warung kopi dengan menatap kegaris vertikalnya, maka keremangan warung kopi versus masyarakat moralis, merupakan akibat dari sebab remang-remangnya tata lingkungan sosial-kultural desa. Namun itu menjadikan warna, hitam dan putih yang tak pernah bisa ditolak oleh siapapun Lalu bagaimana selanjutnya? Selanjutnya! Seperti bunyi iklan parfum axe, terserah anda! Silahkan berfikir dan berembuk menurut posisi garis vertikal dan horisontalnya masing-masing. Wassalam.


33 komentar:

  1. Right here,, Right now.. menuju karakter masyarakat universal... nice post mas coro salam kenal ^^

    BalasHapus
  2. warung kopi trus warung remang-remang... mikirrr

    BalasHapus
  3. Semua tergantung pada penilaian Individunya Bro,,,maslah kebersihan lingkungan dan sebagainya kita tidak usah saling menyalahkan mungkin kesadaran diri sendiri yang perlu kita tanamkan untuk bisa menjaga kebersihan lingkungan hehehe

    BalasHapus
  4. ya ya... apa gunanya pembangunan kalo hasil pembangunan itu gak bisa dinikmati semua lapisan masyarakat/ malah semakin nambah penderitaan mereka?

    BalasHapus
  5. sadar diri sendri saja dulu untuk masalah kebersihan lingkungan

    BalasHapus
  6. salam sahabat
    jawab dulu kalimat salam anda hehehe waalaikumsalam wr.wb
    masyaAllah melihat ilustrasi di atas saya menjadi trenyuh apalagi tata lingkungan yang kurang sedap dipandang ini sangat susah sekali diantisipasi,kalau menurut saya dibutuhkan instansi pemerintah dan kesadaran masyarakat ya mas RO
    oh iya dah saya follow

    BalasHapus
  7. saya sependapat jika masyarakat dan pemerintah harus mulai memikirkan tata lingkungan secara bersama-sama, tidak saling menunjuk, tidak saling menunggu, tapi lakukan bersama, mulai saat ini juga.

    BalasHapus
  8. Yaa... Memang terkesan carut marut sekali, baik tata kota maupun tata desa ya... Pemerintah seakan2 mendahulukan siapa yg punya dana lebih utk membangun.. Masalah rapih/tidaknya sebuah desa/kota itu urusan belakangan spt nya... Banjir bukan lg masalah org kota ya.. Bahkan sampe di desa terpencilpun terkena banjir..
    Memusingkan memang.. Ya.. Minimal qta mulai dari diri sendiri dlu.. :-)

    BalasHapus
  9. kepedulian semua pihak berarti yah, tidak hanya pemerintah saja ataupun masyarakatnya saja

    BalasHapus
  10. ini mungkin yang sering di gembar gemborkan kang iia.. masyarakat madani :(

    BalasHapus
  11. woh wong jember toh, jember ndi bos? slam kenal :D

    BalasHapus
  12. salam kenal
    maaf terlambat
    sepertinya kalau hanya menggantungkan/menunggu campur tangan pemerintah tidak akan selesai-selesai maklum pemerintah lagi sibuk mikirkan partainya sendiri-sendiri, jadi ya menurut saya
    rakyat harus yang menjadi pelopor dan tandang gawe sendiri saja

    BalasHapus
  13. Bila ingin melihat wajah Indonesia secara keseluruhan, cobalah naik kereta api kelas 'rakyat',,

    Tentang warung remang remang, pemikiran saya masih sama. Tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Tapi (berhubung saya paham) saya tidak berani menyalahkan rakyat sekitar. Dilihat dari embel2nya yang 'remang2' saja, itu sudah mengandung konotasi yang kurang baik.

    Salam kopi hangat Mas Coro..

    BalasHapus
  14. Salam kenal balik sob,
    Memang masih banyak warkop yang kurang tertata rapi namun kalo di kotaku insya alloh tata lingkungan sudah diperhatikan dan untuk jenis warung remang-remang dipinggirkan.

    BalasHapus
  15. wah.. desa udah kaya kota dg,, elo-elo, gwe-gwe, cuma mikirin diri sendiri aja..

    kalo warkop ada itu karena ada penggemarnya, kalo penggemarnya gak ada ya warkopnya bakal lenyap, jadi sekarang yg harus dibasmi adalah penggemarnya .. hehehe (cuma pemikiran pribadi aku aja ..)

    salam :)

    BalasHapus
  16. @4309729147439735296.0
    Salam kenal balik

    BalasHapus
  17. @5671109608587135167.0
    Terima kasih kunjungannya

    BalasHapus
  18. @3342439698713001530.0

    Setuju semoga saja bisa menjadi pelaku perubahan ya kang....hehe

    BalasHapus
  19. Cukup menarik postingan saudara coro, suasana remang-remang di warung kopi yang saat ini sudah hampir merambah ke tengah kota Jember memang sudah bukan menjadi rahasia umum. Saya sering melewati wilayah Jember Selatan khususnya Kecamatan Balung - Rambipuji, kondisi tsb seakan-akan menjadi hal biasa.

    Saya sempat mengirim artikel ke media massa terkait warung kopi remang-remang tsb, namun hingga saat ini atau sdh 8 bulan tidak ada konfirmasi bahwa artikel saya dimuat...nah, jika kondisi seperti ini selalu terjadi, maka tidak mudah memperbaiki kondisi tersebut. Tapi, bukan berarti tidak bisa,,,pasti bisa, entah kapan...
    :D

    salam kenal....

    BalasHapus
  20. @871514232324618092.0
    Saya seuju mas bro, baik pendapat ataupun kopi hangatnya....

    BalasHapus
  21. @5550973610019366727.0

    Seep saya lebih setuju jika masyarakat kita di jadikan madani tapi sampai sekarang sekolah tinggi saja masih mahal!!!gimana....??

    BalasHapus
  22. @588225755772433817.0

    Alhamdulillah ya mbak semoga pemerintah selalu memperhatikan masalah2 yang seperti ini hingga masyarakat di negeri tercinta jadi lebih baik dari sebelumnya.
    Trims kunjungannya....

    BalasHapus
  23. @3812347482064985450.0

    Seeep tapi yang gemar ngopi doang jangan di basmi ya mbak tar perusahaan kopi pada tutup...

    BalasHapus
  24. @108343798215944848.0

    Betul mas mari kita menjadi pelaku perubahan minimal bagi diri sendiri

    BalasHapus
  25. @1708931101238594853.0

    Salam kenal juga sob saya jember bagian selatan

    BalasHapus
  26. @8252983491889582611.0

    Betul mas karena kalo negara saja mana masyarakatnya. kalo hanya masyarakatnya mana negaranya. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena merupakan elemen pemerintah untuk bisa berjalan(ambil dari buku)...hehe

    BalasHapus
  27. @2233594015327420444.0

    Ya minimal itu ya mbak... hehe...

    BalasHapus
  28. @4563912821453823307.0

    Sia sia mbak.... :D

    BalasHapus
  29. @4845836533774378555.0

    link mbak juga sudah saya pasang di bolokonco mascoro

    Trims

    BalasHapus
  30. @5165108121883585458.0

    Belajar dari kita sendiri tepatnya mas,,,,selayaknya sudah harus menjadi pelaku perubahan....

    Trims mas abi

    BalasHapus
  31. @3956098776526287719.0

    Sangat setuju berkaca pada diri sendiri dulu mbak ya....

    BalasHapus
  32. @7673968006616608897.0

    Sabar aja sob proses seleksinya ketat dan biasanya tidak hanya artikel yang baik saja namun juga menarik....

    Salam kenal juga dari Jember

    BalasHapus
  33. yang masalah titik titik aku kok ga ngerti yak ...

    BalasHapus